Jumat, 06 November 2015

Cerita Cinta


Pagi ini aku bertemu lagi dengannya. Rasa penasaran membuatku diam-diam memperhatikan setiap tingkah lakunya. Tak ada yang aneh, pikirku. Yang jelas dia memang tidak banyak tersenyum meski aku mengucapkan kata terima kasih. Tapi ibuku pernah bercerita jika dia mengalami semacam depresi. Depresi karena cinta. Ah.. malang nian nasib pria itu.

Ceritanya berawal ketika dia sangat mencintai seorang gadis. Dia sangat bersungguh-sungguh kala itu. Tapi entah takdir  macam apa yang akhirnya membuat sang gadis pergi meninggalkan pria malang itu demi pria lain yang kemudian menikahinya. Tinggalah pria itu kini sendiri. Menyendiri entah sampai kapan.

Berbagai macam cara pernah ibunya lakukan. Mulai dari pengobatan, berbagai motivasi dan segala macam metode namun pria yang terlanjur terluka itu tetap bungkam. Ibunya sempat khawatir jika anaknya tak bisa jatuh cinta lagi pada wanita karena dia menjadi sangat tertutup dan diam, bahkan wanita secantik apapun kini tak lagi di liriknnya. Ibuku bilang dia menjadi takut terhadap wanita, oleh sebab itu sekadar menatap saja dia tak berani. Ketakutan semakin menjadi mengingat usia orang tuanya yang semakin lama semakin bertambah tua. Akan hidup dengan siapa nanti anaknya. Kudengar dari ibuku jika dia anak laki-laki satu-satunya.

Sejenak kupandangi wajahnya, lalu postur tubuhnya. kulihat setidaknya wajahnya lebih baik dari wajah bapak ku (kalau saja bapak ku lebih mau merawat diri), kulitnya bersih agak putih, dengan tinggi badan yang menurutku ideal bagi seorang pria, hanya saja mungkin dia perlu sedikit mengurangi porsi makannya. Dia memang lebih banyak diam, seakan aku harus memakai isyarat jika ingin bertanya banyak hal.

Pagi ini dia yang menjaga warung sembako sederhana di  pinggir jalan milik orang tuanya. Biasanya kedua orang tuanya yang ada di sana, mungkin mereka menerapkan dua sift karena biasanya mereka buka hingga malam hari dan kebetulan mungkin ini jatah sift paginya (ayolah.. aku hanya meduga-duga, bisa saja ibunya sedang menyiapkan sarapan dan ayahnya membaca koran). Dari dalam warung terdengar alunan musik dangdut yang sedikit sendu, entah siapa yang menyanyikannya.

Usianya mungkin sekitar 27 tahun, entah lebih. Jika umumnya pria 27 tahun sedang menggebu –nggebu ingin segera meminang gadis pujaannya, agak berbeda dengan dia. Kulihat dia menikmati profesinya menjaga warung sederhana itu. Setiap pagi sibuk menjaga warung di temani alunan dangdut dari radio sederhana, tak peduli meski orang disekitarnya berbicara ngalur ngidul tentang kisah hidupnya.

Jadi seperti itulah cinta. Orang tuaku selalu bilang cinta itu pakai hati tapi juga pakai akal. Biarkan mereka bersinergi. Akal bertugas menjaga, maka berpikir dalam cinta itu wajib. Apakah aku mampu berkata demikian karena kebetulan sekarang aku memang masih sendiri. Bukankah cinta seringkali membuat kita lupa. Seperti pria itu, hanya karena cintanya pada seorang gadis yang akhirnya di hianati yang akhirnya merubah seluruh pondasi hidupnya. Itulah sebabnya, akal membuat kita selalu sadar jika manusia memiliki penciptanya. Apapun segala macam cobaan, manusia hanya harus menjalani dan menyerahkan semuanya kembali pada Allah.

Akhir cerita, besar harapanku jika kelak pria baik itu kembali menjadi dirinya yang dulu sebelum dia mengenal gadis bodoh yang meninggalkannya demi pria lain itu. Entah di usianya yang keberapa pun aku harap dia akan menikah dengan wanita yang lebih baik, memiliki keturunan dan bisa menjalani hidup ini dengan lebih bijak lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Text Widget

Followers

Followers

Pages

Pages

Pages - Menu

Pages - Menu