Pagi ini aku bertemu lagi dengannya. Rasa penasaran membuatku
diam-diam memperhatikan setiap tingkah lakunya. Tak ada yang aneh, pikirku.
Yang jelas dia memang tidak banyak tersenyum meski aku mengucapkan kata terima
kasih. Tapi ibuku pernah bercerita jika dia mengalami semacam depresi. Depresi
karena cinta. Ah.. malang nian nasib pria itu.
Ceritanya berawal ketika dia sangat mencintai seorang gadis.
Dia sangat bersungguh-sungguh kala itu. Tapi entah takdir macam apa yang akhirnya membuat sang gadis pergi
meninggalkan pria malang itu demi pria lain yang kemudian menikahinya.
Tinggalah pria itu kini sendiri. Menyendiri entah sampai kapan.
Berbagai macam cara pernah ibunya lakukan. Mulai dari
pengobatan, berbagai motivasi dan segala macam metode namun pria yang terlanjur
terluka itu tetap bungkam. Ibunya sempat khawatir jika anaknya tak bisa jatuh
cinta lagi pada wanita karena dia menjadi sangat tertutup dan diam, bahkan
wanita secantik apapun kini tak lagi di liriknnya. Ibuku bilang dia menjadi
takut terhadap wanita, oleh sebab itu sekadar menatap saja dia tak berani. Ketakutan
semakin menjadi mengingat usia orang tuanya yang semakin lama semakin bertambah
tua. Akan hidup dengan siapa nanti anaknya. Kudengar dari ibuku jika dia anak
laki-laki satu-satunya.
Sejenak kupandangi wajahnya, lalu postur tubuhnya. kulihat
setidaknya wajahnya lebih baik dari wajah bapak ku (kalau saja bapak ku lebih
mau merawat diri), kulitnya bersih agak putih, dengan tinggi badan yang
menurutku ideal bagi seorang pria, hanya saja mungkin dia perlu sedikit
mengurangi porsi makannya. Dia memang lebih banyak diam, seakan aku harus
memakai isyarat jika ingin bertanya banyak hal.
Pagi ini dia yang menjaga warung sembako sederhana di pinggir jalan milik orang tuanya. Biasanya
kedua orang tuanya yang ada di sana, mungkin mereka menerapkan dua sift karena
biasanya mereka buka hingga malam hari dan kebetulan mungkin ini jatah sift
paginya (ayolah.. aku hanya meduga-duga, bisa saja ibunya sedang menyiapkan
sarapan dan ayahnya membaca koran). Dari dalam warung terdengar alunan musik
dangdut yang sedikit sendu, entah siapa yang menyanyikannya.
Usianya mungkin sekitar 27 tahun, entah lebih. Jika umumnya pria
27 tahun sedang menggebu –nggebu ingin segera meminang gadis pujaannya, agak berbeda
dengan dia. Kulihat dia menikmati profesinya menjaga warung sederhana itu.
Setiap pagi sibuk menjaga warung di temani alunan dangdut dari radio sederhana,
tak peduli meski orang disekitarnya berbicara ngalur ngidul tentang kisah hidupnya.
Jadi seperti itulah cinta. Orang tuaku selalu bilang cinta
itu pakai hati tapi juga pakai akal. Biarkan mereka bersinergi. Akal bertugas
menjaga, maka berpikir dalam cinta itu wajib. Apakah aku mampu berkata demikian
karena kebetulan sekarang aku memang masih sendiri. Bukankah cinta seringkali
membuat kita lupa. Seperti pria itu, hanya karena cintanya pada seorang gadis
yang akhirnya di hianati yang akhirnya merubah seluruh pondasi hidupnya. Itulah
sebabnya, akal membuat kita selalu sadar jika manusia memiliki penciptanya. Apapun
segala macam cobaan, manusia hanya harus menjalani dan menyerahkan semuanya
kembali pada Allah.
Akhir cerita, besar harapanku jika kelak pria baik itu
kembali menjadi dirinya yang dulu sebelum dia mengenal gadis bodoh yang
meninggalkannya demi pria lain itu. Entah di usianya yang keberapa pun aku
harap dia akan menikah dengan wanita yang lebih baik, memiliki keturunan dan
bisa menjalani hidup ini dengan lebih bijak lagi.